Data Industri Jepang Buruk, Harga Minyak Melorot
Harga minyak mentah turun pada Selasa pagi (30/6/2020) menyusul rilis data produksi industri Jepang terbilang mengecewakan.
Berdasarkan data Trading Economics, produksi industri Jepang bulan Mei mengalami penurunan sebesar 8,4% jika mengacu pada pembacaan awal. Data aktual ini jauh lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan terjadi penurunan sebesar 5,6%.
“Data produksi industri Jepang yang dirilis pagi ini mungkin menghapus pergerakan semalam,” kata ahli strategi CMC Markets Michael McCarthy dalam sebuah catatan.
Rilis data ini menjadi sentimen yang kurang baik untuk harga minyak mentah. Pada 08.40 WIB, harga minyak mentah melorot usai semalam mengalami reli. Harga minyak mentah berjangka Brent turun 0,46% ke US$ 41,52/barel.
Di saat yang sama harga minyak mentah acuan Negeri Paman Sam yakni West Texas Intermediate (WTI) juga turun tetapi lebih tajam dengan koreksi mencapai 0,53% ke US$ 39,49/barel.
Di sisi lain pelaku pasar juga masih mencermati perkembangan terbaru pandemi Covid-19. Jumlah orang yang terjangkit secara global telah mencapai lebih dari 10 juta orang. Korban meninggal dunia sudah berada di atas 500 ribu jiwa.
Lonjakan kasus tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga belahan dunia lain. China yang juga melaporkan adanya peningkatan kasus akhirnya memilih untuk mengkarantina Beijing sebagai episentrum baru wabah.
Sementara itu di Inggris, Menteri Kesehatan Matt Hancock meminta Leicester untuk kembali dikarantina lantaran laju infeksi Covid-19 di wilayah tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain.
Hancock berkata sekolah dan beberapa toko yang dinilai kurang esensial harus ditutup dan warga dilarang untuk bepergian keluar maupun di dalam kota. “Kami tidak mengambil keputusan ini dengan mudah, tetapi kepentingan rakyat Leicester lah yang kami utamakan,” kata Hancock.
Lonjakan kasus yang kembali terjadi akhir-akhir ini membuat WHO berkomentar. “Meski banyak negara sudah membuat kemajuan, secara global, pandemi terus merebak dengan pesat” kata Direktur Jendeal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah video konferensi.
“The worst is yet to come” begitu kata Tedhros. “Saya mohon maaf harus mengatakan hal tersebut, tetapi dengan kondisis seperti sekarang ini kita takut hal yang terburuk akan tejadi. Oleh sebab itu kita harus menyatukan tindakan untuk melawan virus berbahaya ini bersama-sama” ungkapnya.
Lonjakan kasus yang masif dikhawatirkan membuat lockdown besar-besaran kembali terjadi dan semakin merusak permintaan pasar.
Sentimen lain yang kurang mengenakkan juga datag dari bank sentral AS, the Fed. Ketua the Fed Jerome Powell kembali mengatakan bahwa pemulihan ekonomi AS berada dalam ketidakpastian.
“Output dan tenaga kerja masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Jalan ke depan untuk perekonomian sangatlah tidak pasti dan akan bergantung pada seberapa sukses kita menekan [penyebaran] virus itu sendiri” kata Powell, sebagaimana diwartakan CNBC Internationl.
“Pemulihan secara total kemungkinannya kecil hingga orang-orang percaya diri untuk kembali beraktivitas” tambahnya. “Jalan ke depan juga akan bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah di semua tingkatan untuk menyediakan kelonggaran dan bantuan selama yang dibutuhkan”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Powell setelah terjadi lonjakan kasus terutama di beberapa negara bagian yang secara agresif melonggarkan lockdown.
“Banyak bisnis yang mulai buka kembali, perekrutan meningkat begutu juga dengan pengeluaran. Serapan tenaga kerja meningkat dan belanja masyarakat menguat signifikan di bulan Mei” lanjutnya.
“Kita telah memasuki fase baru dan telah melewatinya dengan lebih cepat dari yang diharapkan. Selagi kita menyambut bangkitnya aktivitas ekonomi kembali, hal ini juga menyisakan tantangan-tantangan baru terutama untuk memastikan bahwa virus masih tetap terkendali” pungkasnya.
Sampai sejauh ini harga minyak mentah masih kokoh di rentang mendekati US$ 38 – US$ 42 per barel.
Banyak yang mengapresiasi langkah para produsen minyak seperti Arab Saudi, Rusia dan kolega yang memangkas outputnya secara besar-besaran hingga 9,7 juta barel per hari (bpd) untuk menopang harga minyak yang sempat terjun bebas.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : GagasanRiau.com