Harga BBM Nonsubsidi Diprediksi Turun Bulan Depan
Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan memprediksi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi turun bulan depan. Hal ini menyusul jatuhnya harga minyak mentah berjangka AS acuan West Texas Intermediate (WTI) hingga minus US$37,63 per barel pada perdagangan Senin (20/4).
Mamit mengatakan badan usaha menetapkan harga jual dalam satu bulan menggunakan acuan rata-rata harga harga MOPS atau Argus periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya.
Ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
“Dengan demikian seharusnya awal Mei akan ada penurunan harga,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/4).
Saat ini, harga BBM nonsubsidi Pertamina untuk jenis Pertamax Turbo sebesar Rp9.850 per liter, Pertamax Rp9.000 per liter, dan Pertalite Rp7.650 per liter. Sementara, Pertamina Dex Rp10.200 per liter dan Dexlite Rp9.500 per liter.
Namun, Mamit mengaku belum dapat memprediksi harga BBM subsidi lantaran penyesuaian harga BBM subsidi mempertimbangkan banyak faktor.
“Untuk BBM premium karena ini penugasan, saya belum bisa memastikan, meskipun dalam Kepmen ESDM diatur. Karena ini sampai ke Menteri Koordinator yang memutuskannya,” imbuh dia.
Ia melanjutkan tren pelemahan minyak dunia juga akan mempengaruhi tarif listrik. Sebab, salah satu komponen Biaya Pokok Penyediaan (BPP) adalah minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP).
Pada Maret lalu, ICP tercatat jatuh 39,5 persen dari US$56,61 per barel menjadi US$34,23 per barel. Diproyeksi, ICP April akan berada di bawah US$30 per barel.
Namun, persoalannya, pelemahan nilai tukar rupiah juga membebani kinerja PT PLN (Persero).
“Untuk tarif listrik saya kira ini merupakan berkah bagi PLN karena dalam menentukan BPP mereka ada salah satu komponennya ICP. Tinggal nanti PLN berhitung kembali apakah mereka dalam posisi untung atau tetap merugi, karena tarif listrik sudah cukup lama tidak naik,” terang dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Pertamina untuk memenuhi seluruh kapasitas penyimpanan (storage).
Sayangnya, Pertamina tidak memiliki sistem cadangan minyak nasional layaknya beberapa negara, seperti AS, India, dan China, yang memiliki cadangan nasional di kisaran 3 bulan-6 bulan.
Saat ini, lanjutnya, Pertamina hanya memiliki kapasitas penyimpanan selama 25-30 hari. “Seperti yang dilakukan AS, China, India mereka mulai mengisi cadangan minyak nasional mereka,” katanya.
Menurutnya, Pertamina harus memiliki skenario untuk mengantisipasi dampak pelemahan permintaan minyak akibat pandemi corona. Sebab, tidak ada yang dapat memprediksi kapan pandemi corona ini berakhir.
Ia mengaku khawatir terjadi lonjakan harga energi termasuk minyak pada kuartal III 2020 hingga kuartal 2021 karena permintaan kembali normal.
“Karena pada waktu itu ekonomi kita masih recovery, kalau harga energi melambung tinggi, maka recovery akan terganggu,” tandasnya.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Petrominer