Mengenal Saham Sektor ‘Loser’ yang Disebut Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti rontoknya pertahanan berbagai sektor usaha akibat pandemi virus corona. Bendahara Negara tersebut membeberkan sektor-sektor ‘loser’ atau yang kalah telak tak bisa dulang untung.
Sri Mulyani mengungkap sektor pariwisata dan turunannya seperti perhotelan, restoran, dan tempat hiburan menjadi sektor-sektor utama yang merasakan pahitnya imbas virus corona. Sektor transportasi dan perbankan juga dinilai Sri Mulyani menghadapi tantangan berat karena turunnya konsumsi masyarakat.
Jika dilihat dari sisi pergerakan saham sektoral, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan ekspektasi pelaku pasar pun berubah karena virus corona. Salah satunya saham sektor perbankan yang biasanya ‘tahan banting’,
Hans menyebut sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang mengalami rugi besar akibat kekhawatiran investor akan lonjakan kredit macet. Meski memiliki fundamental baik namun saham-saham bank buku 4 mengalami penurunan yang drastis.
“Perubahan ekspektasi ini perbankan jadi terpukul karena usaha tidak jalan jadi khawatir kredit macet naik,” terangnya.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk amblas 31,14 persen dari posisinya sejak awal tahun (ytd). Saham BRI kini dibanderol Rp3.030 per lembar saham pada penutupan Selasa (7/4).
Walau sudah mulai kembali menguat, harga ini ‘lebih murah’ Rp1.730 dari awal tahun, yakni sebesar Rp4.760 per lembar saham.
Setali dua uang, PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk pun bernasib sama. Saham bank pelat merah buku 4 ini anjlok 45,10 persen sepanjang tahun berjalan.
Pada penutupan Selasa (7/4), BNI mulai menguat ke level Rp4.310 per lembar saham. Namun, jika dibandingkan awal tahun, BNI telah kehilangan Rp3.640 per lembar saham dari Rp7.950 per lembar saham.
Dari sisi fundamental, penurunan harga saham ini disayangkan. Pasalnya, kedua saham BUMN tersebut merupakan saham blue chip atau saham-saham sehat. Kinerja emiten pun baik, pada tahun buku 2019 BBRI memberikan dividen sebesar Rp20,6 triliun yang berasal dari laba bersih perusahaan.
BBNI pada Februari 2020 mengumumkan pembagian dividen sebesar Rp3,85 triliun atau setara dengan Rp206,24 per saham. Emiten mencatatkan laba bersih Rp15,38 triliun untuk tahun buku 2019.
Meski sepaham dengan Sri Mulyani, namun Hans menyarankan para investor untuk keep atau menyimpan saham perbankan jika memiliki tabungan yang cukup untuk satu hingga 2 tahun ke depan.
Hans meramal, sektor keuangan akan mampu bangkit (rebound) ke posisi semula setelah wabah virus corona berhasil diatasi.
Hans pun menyarankan investor untuk menghindari sektor pariwisata dan turunannya seperti perhotelan dan hiburan sebab rebound di sektor tersebut diperkirakan akan lebih alot.
BBNI pada Februari 2020 mengumumkan pembagian dividen sebesar Rp3,85 triliun atau setara dengan Rp206,24 per saham. Emiten mencatatkan laba bersih Rp15,38 triliun untuk tahun buku 2019.
Meski sepaham dengan Sri Mulyani, namun Hans menyarankan para investor untuk keep atau menyimpan saham perbankan jika memiliki tabungan yang cukup untuk satu hingga 2 tahun ke depan.
Hans meramal, sektor keuangan akan mampu bangkit (rebound) ke posisi semula setelah wabah virus corona berhasil diatasi.
Hans pun menyarankan investor untuk menghindari sektor pariwisata dan turunannya seperti perhotelan dan hiburan sebab rebound di sektor tersebut diperkirakan akan lebih alot.
Katanya, pemulihan sektor tersebut akan lebih lama sebab masyarakat belum akan menjadikan liburan dan hiburan sebagai prioritas pada masa pemulihan perekonomian.
Dari sisi kinerja perusahaan sektor perhotelan, saham PT Citra Putra Realty Tbk (CLAY) terus merosot, terguling dari posisinya di awal tahun. Tak tanggung-tanggung, emiten keok 34,55 persen ke posisi Rp2.330 per saham.
Para investor pun ramai-ramai melakukan aksi jual, saham senilai Rp2,26 miliar dilepas sejak perdagangan awal tahun 2020. Harga saham anak perusahaan Grup OSO tersebut terjun dari harga puncaknya di level Rp3.180 per saham pada Juli 2019.
Sejak virus corona masuk RI pada maret lalu, terlihat harga saham tak jauh-jauh dari posisinya di kisaran Rp2000-an per saham. Emiten yang bergerak di bidang pariwisata, perhotelan, dan tur perjalanan, PT Hotel Fitra Internasional Tbk (FITT) pun harus menelan rugi mendalam.
Harga saham yang melantai di BEI pada Mei 2019 itu menggelinding ke posisi Rp58 per saham dari harga perdagangan Juni 2019 di level Rp173 per saham.
“Saham-saham perhotelan bukan pilihan di saat ini, bahkan pilihan terakhir karena setelah pemulihan pun nampaknya masih akan sulit,” pesan Hans.
Sektor transportasi mengambil porsi dari daftar loser versi Bendahara Negara. Tak heran mengingat banyaknya penerbangan yang dipangkas rute dan frekuensinya. Transportasi darat dan laut pun terkena imbasnya akibat imbauan tak mudik lebaran tahun ini.
Maskapai Garuda Indonesia (GIAA) misalnya yang menunjukkan kinerja melempem, saham anjlok ke posisi Rp218 per saham atau jatuh 56,2 persen sejak pembukaan 2020. Maskapai pelat merah itu terseok-seok akibat larinya dana investor.
Selama 3 bulan terakhir perusahaan harus merelakan dana sebesar Rp796,55 miliar lenyap.
Saham moda transportasi darat pun tak menunjukkan sinyal positif, saham layanan taksi PT Bluebird Tbk kembang-kempis setelah emiten mencatatkan penurunan 50,74 persen dalam kinerja sebulan terakhir.
Perusahaan berlogo burung biru itu harus puas dengan harga di posisi Rp1.000 per saham. Namun pada kuartal III 2019, perusahaan mencatatkan laba bersih sebesar Rp229,33 miliar dengan pendapatan senilai Rp2,96 triliun.
Serupa, emiten jasa transportasi lainnya PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) konsisten melemah perdagangan awal tahun, terhitung sejak Januari, perusahaan telah memerah ke posisi Rp318 per saham atau merosot hampir 54 persen.
“Sektor transportasi memang kurang menarik selain adanya penetapan social distancing ini juga biaya operasional dan pemeliharaannya tinggi, sebaiknya investasi dikurangi,” paparnya.
Sebagai pilihan, para investor dapat belanja saham di sektor-sektor yang tengah mengilap seperti farmasi, makanan dan minuman, dan komunikasi. PT Kimia Farma (Persero) Tbk misalnya yang melonjak sebesar 72,3 persen sebulan terakhir mengantarkan emiten ke harga Rp1.275 per saham.
Hans menyebut untuk minggu ini, investor dapat mengikuti pergerakan ICBP dan UNVR untuk sektor makanan dan minuman. Sementara untuk komunikasi, Hans menyebut TLKM dan EXCL dapat dipantau.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Tempo.co
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]