Konsensus: Neraca Dagang November Diramal Minus US$ 132 Juta
Setelah membukukan surplus pada Oktober, neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali defisit pada bulan berikutnya. Namun defisit neraca perdagangan sepertinya tipis saja.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode November 2019. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% year-on-year (YoY). Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Jika benar ekspor November masih merah, maka kontraksi akan terjadi selama 13 bulan beruntun. Jadi terakhir kali ekspor Indonesia tumbuh positif adalah pada Oktober 2018, lebih dari setahun lalu!
Permintaan Lesu, Ekspor Sendu
Apa boleh buat, kinerja ekspor memang di luar kontrol otoritas fiskal dan moneter. Saat permintaan global sedang lesu ya memang sulit.
Negara tujuan ekspor non-migas utama Indonesia adalah China. Pada Januari-Oktober 2019, ekspor non-migas ke Negeri Tirai Bambu menyumbang 16,4%. Masalahnya, China tidak luput dari perlambatan ekonomi.
Sektor manufaktur yang lesu membuat permintaan bahan baku dan barang modal menurun, termasuk yang berasal dari Indonesia. Pada Oktober, produksi industrial China tumbuh 4,7% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 5,8% YoY. Ini jelas menggambarkan kelesuan industri di China sehingga permintaan pun turun.
Sedangkan di sisi impor, kontraksi sudah terjadi selama empat bulan beruntun. Kalau November negatif lagi, maka menjadi lima bulan.
Impor Turun Tanda Investasi Murung
Penurunan impor bisa dilihat dari dua sudut pandang. Positifnya, tekanan impor yang melandai membuat nilai tukar rupiah stabil bahkan cenderung menguat. Sejak awal tahun, rupiah menguat 2,78% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dan menjadi salah satu mata uang terbaik dunia.
Namun ada sisi negatifnya. Impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi. Masing-masing berkontribusi 73,75% dan 16,53% pada Oktober 2019.
Impor bahan baku/penolong terkontraksi 18,76% YoY pada Oktober, sedangkan impor barang modal turun 11,35% YoY. Fenomena ini menandakan dunia usaha sedang lesu, belum ada minat untuk ekspansif. Jangan berharap investasi bisa tumbuh kencang jika impor bahan baku/penolong dan barang modal masih seperti ini.
Sikap dunia usaha yang menahan diri juga tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI). Pada November, PMI manufaktur Indonesia berada di 48,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Apabila angkanya di bawah 50, berarti dunia usaha pesimistis dan cenderung kontraktif. Tidak ada ekspansi.
Sudah lima bulan PMI manufaktur Indonesia berada di bawah 50. Kelesuan dunia usaha membuat impor terus turun, yang menandakan investasi masih lemah.
Oleh karena itu, sepertinya rilis data perdagangan internasional awal pekan depan akan mempertegas suasana gloomy di perekonomian Indonesia. Semoga 2019 yang penuh nestapa ini adalah titik nadir, dan Indonesia siap bangkit pada 2020.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Bisnis Tempo.co
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]