Data Ekonomi China Angkat Harga Minyak

Harga minyak dunia kembali menguat pada perdagangan pekan lalu. Penguatan dipicu data ekonomi China yang membaik, penurunan tajam stok minyak mentah Amerika Serikat (AS), serta komentar bank sentral AS The Federal Reseves (The Fed) yang akan mengeluarkan kebijakan tepat untuk menjaga ekspansi ekonomi di Negeri Paman Sam.

Dilansir dari Reuters, Senin, harga minyak mentah Brent pada perdagangan Jumat (6/9) lalu ditutup di level US$61,54 per barel atau menguat 1,8 persen pada minggu lalu. Kenaikan mingguan harga Brent terjadi selama empat pekan berturut-turut.

Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar 2,6 persen menjadi US$56,52 per barel. Pada Jumat (6/9) lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan The Fed memiliki kewajiban untuk menggunakan instrumennya untuk menopang perekonomian dan itu yang mereka akan lakukan.

Pasar keuangan sendiri telah membaca sinyal pemangkasan suku bunga acuan AS lebih lanjut setelah The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada Juli lalu. Direktur Utama Blue Line Futures Bill Baruch menilai komentar Powell yang mengindikasikan penurunan suku bunga lebih lanjut menjadi salah satu faktor yang akan membantu mendorong penawaran harga di pasar jelang akhir pekan.

Pekan lalu, harga WTI juga mendapatkan dorongan tambahan setelah Badan Administrasi Informasi Energi AS pada Kamis (6/9) lalu menyatakan persediaan minyak mentah AS merosot tajam pada pekan lalu, hampir dua kali lipat dari ekspektasi.

Setelah laporan itu dirilis, harga minyak sempat melonjak lebih dari 2 persen. Namun, harga kembali turun secara perlahan karena kekhawatiran investor terhadap kemungkinan negosiasi dagang antara AS-China bakal membuahkan hasil.

Sengketa dagang yang berlarut antara AS dan China, konsumen minyak terbesar kedua, telah menekan harga minyak. Selain itu, perang dagang juga menekan proyeksi permintaan minyak global. Dalam catatan yang dikutip Reuters, Analis Minyak UBS Giovanni Staunovo memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak cuma bisa tumbuh 900 ribu barel per hari (bph) pada 2019 dan 2020.

Pada Kamis (5/9) lalu, AS dan China sepakat untuk menggelar pembicaraan dagang tingkat tinggi pada Oktober mendatang. Pemberitaan mengenai hal tersebut menimbulkan harapan perang dagang yang menahan pertumbuhan ekonomi global akan berakhir.

“Jika tensi perdagangan tereskalasi lebih jauh, permintaan minyak dapat melemah lebih jauh, dan menekan harga lebih rendah,” ujar Staunovo.

Staunovo memperkirakan Brent akan diperdagangkan di kisaran US$55 per barel tahun depan. Sejumlah analis lainnya memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak turun menjadi sekitar 1 juta bph dari sebelumnya 1,3 juta bph.

“Ini posisi yang rentan. Kekhawatiran terbesar adalah kekhawatiran terkait pertumbuhan permintaan dan itu merupakan fungsi dari perang dagang (AS-China),” ujar Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger.

Kendati demikian, sejak tahun lalu, harga minyak dunia mampu terkerek berkat kesepakatan pemangkasan produksi yang dilakukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia. Lebih lanjut, Baker Hughes mencatat perusahaan minyak AS memangkas jumlah rig pengeboran minyak mentah pada pekan lalu menjadi 738 rig, terendah selama hampir dua tahun terakhir. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator produksi di masa mendatang.

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Riaubook.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

 

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *