Sri Mulyani ‘Restui’ Google Pungut Pajak Iklan 10 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi restu kepada PT Google Indonesia untuk mulai menarik pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen kepada pengguna jasa layanan iklan dalam bisnis mereka. Ini sejalan dengan rencana kebijakan pungutan pajak pemerintah terhadap perusahaan digital asing yang ada di Indonesia pada 2021, termasuk Google.
Dalam konferensi pers usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (3/9), Sri Mulyani mengatakan telah mendapat persetujuan dari kepala negara untuk memungut pajak dari perusahaan digital asing yang ada di Tanah Air. Mulai dari Google, Facebook, Twitter, Netflix, Amazon, dan lainnya.
Hal ini juga sejalan dengan kesepakatan antar negara-negara forum G20 dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD). Tujuannya, agar tidak ada lagi praktik penghindaran pajak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dari berbagai pertimbangan itu, rencananya, pemerintah mengeluarkan aturan hukum baru yang mewajibkan para perusahaan digital asing melakukan pungutan pajak atas bisnis mereka, yaitu PPN sebesar 10 persen. Aturan hukum itu akan tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi yang tengah disusun.
“Dengan RUU ini, kami akan tetapkan bahwa mereka, perusahaan digital internasional, seperti Google, Amazon, mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN,” ujar Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/9).
Menurutnya, pemerintah bisa memberlakukan kebijakan tersebut lantaran RUU akan mengubah definisi status Badan Usaha Tetap (BUT) yang tidak lagi bergantung pada kehadiran fisik kantor di Indonesia.
Artinya, walaupun para perusahaan digital asing tidak memiliki kantor cabang di Tanah Air, namun selama mereka beroperasi di sini, maka kewajiban pajak tetap ada.
“Karena mereka ada significant economic presents di sini. Tentu saja tujuannya supaya ada level of playing field terhadap kegiatan digital, terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi cross border,” katanya.
Setelah memungut PPh, nantinya perusahaan digital asing itu juga wajib menyetor Pajak Penghasilan (PPh) Badan kepada negara. “Tarifnya nanti akan diterapkan dalam PPh dan PPN dalam RUU,” jelasnya.
Namun, implementasi kebijakan pajak bagi perusahaan digital asing baru diterapkan pada 2021 mendatang. Sebab, RUU masih digodok, setelah itu masih harus melewati proses pembahasan panjang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai akhirnya bisa disetujui.
Berdasarkan keterangan resmi perusahaan yang didapat CNNIndonesia.com, Google Indonesia berencana mulai memungut PPN kepada pengguna jasa layanan iklan mereka mulai 1 Oktober 2019. Terkait hal ini, Sri Mulyani rupanya menanggapi dengan santai.
“Itu tidak berarti bahwa kami tidak bisa meng-collect (mengumpulkan). Kalau kemudian perusahaan-perusahaan ini melakukan kewajiban perpajakannya, kami tetap akan menggunakan proksi, yang seluruh dunia juga melakukan upaya dan ikhtiar yang sama untuk meng-collect apa pajak yang adil, itu ada dalam UU,” imbuh Sri Mulyani.
Artinya, pemerintah tetap memberi restu kepada Google Indonesia untuk mulai memungut PPN 10 persen atas layanan iklan, meski implementasi pungutan pajak bagi perusahaan digital asing baru berlangsung pada 2021. Namun, pemerintah tetap bakal mengupayakan penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan ini.
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai sikap Sri Mulyani sudah tepat. Bahkan, ini merupakan langkah maju sesuai dengan komitmen reformasi perpajakan yang sudah digaungkan sejak awal pemerintahan Kabinet Kerja.
“Yang penting dipastikan saja ke depannya, PKP (Pengusaha Kena Pajak) atas penyerahan jasa kena pajak di Indonesia, tapi jasa apa saja? Misalnya konsep PPN, jasanya merupakan objek PPN dan diserahkan ke dalam daerah kepabeanan,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Begitu pula dengan inisiatif yang dilakukan Google. “Kalau yang model Google ini sudah tida ada dispute, maka yang lain tinggal ikuti. Tentu harus diikuti platform asing lainnya,” pungkasnya.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : .tempo.co
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]