Presiden Afrika Selatan Kutuk Kekerasan Anti-Orang Asing
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, mengutuk aksi kekerasan anti-orang asing yang pecah pada Selasa waktu setempat. Ia mengatakan telah memanggil menteri yang bertanggung jawab untuk keamanan guna memastikan bahwa pengawasan terhadap tindakan kekerasan dan menemukan cara untuk menghentikannya.
“Orang-orang di negara kita ingin hidup dalam harmoni; apa pun keprihatinan atau keluhan yang mungkin kita miliki, kita perlu menanganinya secara demokratis. Tidak ada pembenaran bagi Afrika Selatan untuk menyerang orang dari negara lain,” kata Ramaphosa seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (4/9/2019).
Kekerasan pecah di Afsel pada hari Minggu ketika sebuah unjuk rasa menentang perdagangan narkoba oleh penduduk setempat di pusat Johannesburg. Mereka menyalahkan para imigran yang memicu degerenasi, dengan menyerang toko-toko dan dijarah.
Aksi kekerasan kemudian menyebar ke kota terdekat Pretoria, di mana gerombolan massa menyerang para pedagang, pekerja dan penjaga toko imigran.
Pernyataan pemerintah menyatakan lebih dari 90 orang ditangkap setelah menjarah toko-toko dan merusak properti di Johannesburg dan sekitarnya.
Aksi penjarahan lebih lanjut terjadi semalam di kota miskin Alexandra, di Johannesburg timur laut.
Jalan-jalan yang biasanya sibuk di Alexandra ditinggalkan pada Selasa pagi, penuh dengan batu, batu bata, barang-barang jarahan dan peluru karet. Bentrokan antara polisi bersenjata dan kerumunan pria muda terus berlanjut sepanjang pagi menjelang pertemuan terjadwal antara petugas dan tokoh masyarakat.
Komisaris polisi untuk provinsi Gauteng yang meliputi Pretoria dan Johannesburg, Elias Mawela, mengatakan para penyelidik sedang mencari para pemimpin yang memicu kekerasan.
Ada banyak wabah kekerasan serupa di Afrika Selatan, di mana banyak warga menyalahkan imigran atas pengangguran yang tinggi, khususnya dalam pekerjaan kasar. Lebih dari 60 migran terbunuh dalam satu rangkaian serangan pada 2008 lalu.
Afrika Selatan adalah tujuan utama para migran ekonomi dari wilayah selatan Afrika, dengan banyak dari mereka yang pindah dari Lesotho, Mozambik dan Zimbabwe untuk mencari pekerjaan. Ada juga komunitas besar Somalia dan Nigeria di Afrika Selatan.
Presiden Muhammadu Buhari dari Nigeria memanggil komisaris tinggi Afrika Selatan pada hari Selasa untuk mengeluh tentang perlakuan terhadap warga negaranya dan meminta jaminan bahwa nyawa dan harta benda mereka akan dilindungi.
Buhari sendiri dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan ke Afrika Selatan akhir tahun ini.
Para aktivis menyalahkan pejabat senior di partai Kongres Nasional Afrika yang berkuasa dan partai oposisi Aliansi Demokratik karena memicu sentimen anti-imigran.
“Para pemimpin politik senior menemukan sasaran empuk di Afrika yang rentan yang berusaha membuat rumah baru di Afrika Selatan. Memang, ada tren berbahaya yang muncul dari populisme xenophobia yang mengarah pada serangan terhadap warga negara asing,” kata Right2Know Campaign dalam sebuah pernyataan.
Sebuah studi tahun 2016 oleh para peneliti di University of Witwatersrand, Johannesburg, terhadap kekerasan xenophobia menyimpulkan bahwa politik memainkan peran penting.
“Selama dekade terakhir kami telah melihat hubungan yang kuat antara protes politik dan penjarahan bisnis milik asing … para pemimpin lokal membutuhkan protes untuk mempertahankan kekuasaan dan legitimasi mereka.
Dan para pengunjuk rasa perlu diberi makan. Penjarahan adalah cara untuk mengisi perut mereka,” tulis para peneliti.
Sensus populasi terbaru pada tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah migran melonjak pada dekade sebelumnya, dengan hampir setengahnya pindah ke Afrika Selatan antara 2005 dan 2010. Jumlah migran tidak berdokumen resmi tidak diketahui.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : International sindonews
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]