Kekhawatiran Resesi Reda, Harga Emas Hari Ini Turun
Harga emas sedikit terkoreksi di tengah ketidakpastian ekonomi global yang tinggi. Aksi ambil untuk diduga menjadi dalang dibalik pelemahan harga emas.
Sementara itu, risiko perekonomian global yang tinggi masih terus memberikan fondasi pada harga logam mulia.
Pada perdagangan hari Kamis (29/8/2019) pukul 08:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Desember di bursa New York Commodities Exchange (COMEX) terkoreksi terbatas 0,03% ke level US$ 1.548,7/troy ounce (Rp 697.163/gram).
Adapun harga emas di pasar spot naik tipis menjadi US$ 1.540,4/troy ounce (Rp 693.427/gram).
Sejatinya, harga emas masih mendapat dorongan dari kekhawatiran pelaku pasar akan terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS).
Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
CNBC International mencatat, pada perdagangan hari Selasa (27/8/2019) inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.
Kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps. Lantas, gaung resesi sudah semakin keras disuarakan oleh pasar obligasi AS. Hal ini tentu berpotensi membuat pelaku pasar bermain defensif pada hari ini.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Sementara itu kabar dari Negeri Ratu Elizabeth juga semakin membuat pelaku pasar enggan bermain di aset-aset berisiko.
Kemarin (28/8/2019), Ratu Elizabeth memberikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.
Sedianya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan depan hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu.
Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit).
Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Pada hari Selasa, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.
Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Resesi tentu saja bukan kabar baik di pasar keuangan. Terlebih yang terancam resesi adalah AS dan Inggris, negara dengan kekuatan ekonomi nomor 1 dan 5 di dunia.
Dampaknya sudah tentu akan merembet kemana-mana.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Tribunnews.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]