Sempat Menguat, Harga Minyak Dunia Kembali Loyo
Harga minyak mentah dunia merosot lebih dari 4 persen pada perdagangan Selasa (2/7), waktu Amerika Serikat (AS). Penurunan harga minyak terjadi di tengah keputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang akan memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi.
Namun, sentimen negatif datang dari lemahnya data manufaktur yang membuat investor khawatir perlambatan ekonomi bakal menggerus permintaan.
Dilansir dari Reuters, Rabu (3/7), harga minyak mentah berjangka Brent merosot US$2,66 atau 4,1 persen menjadi US$62,4 per barel.
Pelemahan juga dialami oleh harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$2,48 atau 4,8 persen menjadi US$56,25 per barel.
Padahal, kedua harga acuan tersebut sempat menyentuh level tertingginya dalam lima pekan terakhir pada perdagangan awal pekan ini.
OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksi hingga Maret 2020 mendatang. Kebijakan itu diambil pada pertemuan yang digelar Selasa (2/7) di Wina, Austria. Seluruh anggota menyingkirkan perbedaan demi mendongkrak harga.
Pada Sabtu (29/6) lalu, Presiden Rusia Vladimir Putis menyatakan bahwa ia telah sepakat dengan Arab Saudi untuk memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) atau 1,2 persen dari permintaan dunia.
Sebagai catatan, kelompok yang juga dikenal dengan sebutan OPEC+ itu telah menjalankan kebijakan pemangkasan produksi sejak awal tahun ini dan akan berakhir pada Juni 2019 lalu.
Perjuangan OPEC dan sekutunya untuk mendongkrak harga tidak akan mudah. Pasalnya, muncul sinyal perlambatan ekonomi global yang dapat memukul permintaan minyak.
Analis PVM Tamas Varga menilai besaran pemangkasan yang disepakati cukup minim untuk mencegah anjloknya harga. Negara-negara anggota mencermati pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini telah merosot 1,14 juta bph.
Sementara, pasokan dari negara non OPEC diperkirakan tumbuh 2,14 juta bph. Akibatnya kenaikan harga minyak karena pemangkasan produksi pun tertahan.
Pada pertemuan negara anggota G20 pekan lalu, AS dan China, sepakat untuk memulai kembali negosiasi perdagangan. Namun, aktivitas pabrik pada Juni 2019 lalu merosot di Eropa dan Asia. Kondisi serupa juga dialami AS dengan aktivitas manufaktur yang melambat hingga ke level terendah dalam tiga tahun terakhir.
Selain itu, awal pekan ini, Presiden AS Donald Trump juga menyatakan kesepakatan apapun harus menguntungkan negaranya. Hal itu memicu keraguan akan prospek kesepakatan dagang antara dua perekonomian terbesar dunia itu.
“Meningkatnya indikasi perlambatan ekonomi global tetap menjadi pertimbangan negatif harga yang terbesar pada sektor energi dan kebutuhan OPEC untuk memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi lebih jauh lagi,” kata Pimpinan Ritterbusch & Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Sementara itu, Institut Perminyakan Amerika menyatakan stok minyak mentah AS turun 5 juta barel menjadi 469,5 juta barel pada pekan yang berakhir pada 28 Juni 2019.
Penurunan tersebut lebih besar dari perkiraan analis yang memperkirakan produksi rontok 3 juta barel. Data resmi pemerintah AS sendiri baru akan diriis pada Rabu (3/7), waktu setempat.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Tribunnews.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]