Waspada, AS-India dan Timur Tengah Memanas
Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif sepanjang pekan lalu. Pada awal pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah masih menguat. Namun jelang akhir pekan malah mengendur.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,66% secara point-to-point. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,35% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 32,8 basis poin (bps). Penurunan yield mencerminkan harga instrumen ini naik karena tingginya permintaan.
Pada awal pekan, IHSG dkk melanjutkan penguatan yang didapat sebelum libur panjang Idul Fitri. Sepertinya dampak kenaikan peringkat utang Indonesia versi Standard and Poor’s (S&P) masih terasa.
Tepat sebelum libur lebaran, lembaga pemeringkat yang berkantor pusat di New York tersebut menaikkan rating utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Ini menjadi kali pertama Indonesia memperoleh rating itu sejak 1995.
Keyakinan investor terhadap ketahanan pasar keuangan Indonesia membuncah. Arus modal asing masuk dengan deras hingga membuat IHSG cs menguat.
Namun jelang akhir pekan, nitro pemberian S&P habis. Justru yang tersisa adalah perilaku ambil untung (profit taking) karena IHSG, rupiah, dan harga obligasi sudah menguat signifikan.
Selain itu, ada beberapa rilis data domestik yang kurang menggembirakan. Pertama, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa pada Mei sebesar US$ 120,3 miliar. Turun cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 124,3 miliar.
Kedua, Kemudian BI juga mencatat penjualan ritel pada April tumbuh 6,7% year-on-year (YoY), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,1%. Pertumbuhan penjualan ritel pada April menjadi yang terlemah sejak November 2018.
Ditambah lagi perkembangan eksternal pun kurang kondusif. Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.
“Namun belum ada proses formalisasi,” ujar Lawrence ‘Larry’ Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters.
“Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip,” tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.
Data domestik dan sentimen eksternal yang kurang oke semakin menebalkan keyakinan investor untuk mengambil posisi jual terhadap aset-aset keuangan Indonesia. IHSG dan harga obligasi masih bisa selamat meski penguatannya menipis. Namun rupiah tertinggal sendirian di zona merah.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar :CNBC Indonesia
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]