Stok AS Merosot, Harga Minyak Dunia Melemah
Harga minyak mentah berjangka Brent menguat pada perdagangan Senin (25/2), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan dipicu oleh proyeksi mengetatnya pasokan dari AS, tetapi dibatasi oleh kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang akan menekan permintaan bahan bakar.
Dilansir dari Reuters, Selasa (26/2), harga minyak mentah berjangka Brent menguat US$0,18 menjadi US$67,21 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) melemah US$0,22 menjadi US$58,82 per barel.
“Beberapa pelemahan yang kita lihat sebelumnya terkait dengan munculnya kembali kekhawatiran terhadap pertumbuhan permintaan,” ujar Wakil Kepala Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian di Stamford, Connecticut.
Menurut Gillian, pasar tengah mengantisipasi data mingguan terkait persediaan minyak mentah AS. Pada Selasa (26/2), kelompok industri Institut Perminyakan Amerika (API) akan merilis data stok versinya. Kemudian, selang sehari, Badan Administrasi Informasi Energi AS akan merilis data versi pemerintah.
“Jika kita melihat angka persediaan seperti yang kita lihat pekan lalu maka reli harga akan kembali terjadi,” ujarnya McGillian.
Data stok minyak AS terkini diperkirakan bakal kembali merosot untuk tiga pekan berturut-turut. Pekan lalu, pemerintah AS mencatat persediaan minyak mentah turun 10 juta barel akibat melonjaknya ekspor.
“Kami memperkirakan pasar minyak mentah AS seimbang melihat akan ada pengetatan pasokan tambahan seiring peningkatan tajam ekspor minyak mentah dan impor kemungkinan akan menurun,” ujar Pimpinan Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Kendati demikian, Ritterbusch menilai perlambatan tingkat pertumbuhan permintaan minyak mentah akan menjadi faktor yang mempengaruhi harga lebih besar dalam beberapa pekan ke depan.
Pekan lalu, harga minyak mendapat pukulan setelah pernyataan hati-hati dari bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) serta lemahnya data industri dari AS, Eropa, dan Asia. Kondisi itu menyebabkan inversi pada kurva imbal hasil obligasi pemerintah AS (T-bill) untuk pertama kalinya sejak 2007.
Sebagai catatan, inversi pada kurva imbal hasil merupakan kondisi di mana imbal hasil obligasi jangka pendek lebih tinggi dari imbal hasil obligasi jangka panjang. Dalam hal ini, imbal hasil T-bill dengan tenor 3 bulan lebih tinggi dari T-bill bertenor 10 tahun. Secara historis, kondisi ini akan mengarah kepada resesi seiring kondisi yang mencerminkan keyakinan investor terhadap risiko jangka pendek yang lebih besar.
Pada Senin (25/2), Kepala The Fed Chicago Charles Evans menyatakan kecemasan pasar terhadap kurva imbal hasil yang mendatar dapat dipahami. Namun, ia masih yakin terhadap prospek pertumbuhan ekonomi AS.
Perbaikan indeks iklim usaha Jerman sedikit meredakan kekhawatiran terhadap resesi setelah data produksi manufaktur dari perekonomian terbesar Eropa itu turun selama tiga bulan berturut-turut.
Lebih lanjut, pemangkasan produksi yang dijalankan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia juga turut menopang harga. Arab Saudi selaku pemimpin de-facto OPEC ingin mendorong harga minyak mentah Brent ke level di atas US$70 per barel.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]