OPEC Pastikan Pangkas Produksi, Harga Minyak Menguat
Harga minyak mentah dunia menanjak lebih dari 1 persen pada perdagangan Senin (12/1), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu dipicu oleh komentar Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih yang menyatakan kebijakan pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berpotensi tidak akan berakhir sebelum Juni 2019.
Dilansir dari Reuters, Selasa (12/3), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,84 atau 1,28 persen menjadi US$66,58 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,72 atau 1,28 persen menjadi US$56,79 per barel.
Pada Minggu (10/3) lalu, Falih menyatakan kepada Reuters masih terlalu dini untuk mengubah kesepakatan pemangkasan produksi OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, sebelum pertemuan pada Juni 2019 mendatang.
“Arab Saudi terus mengambil pendekatan proaktif untuk menciptakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan yang lebih baik,” ujar Pimpinan Lipow Oil Associates Andrew Lipow di Houston.
Tahun ini, pasar minyak telah mendapatkan topangan dari kebijakan pemangkasan produksi OPEC dam sekutunya, termasuk Rusia. Kelompok yang dikenal dengan sebutan OPEC+ itu sepakat memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) selama enam bulan. Kebijakan untuk mendongkrak harga tersebut telah berlangsung sejak Januari 2019.
Kelompok kartel tersebut dijadwalkan akan bertemu pada 17-18 April 2019 dan 25-26 Juni 2019 untuk membahas kebijakan pasokan.
Pada pertemuan April 2019 mendatang, OPEC diperkirakan bakal mengkaji keseimbangan permintaan dan penawaran minyak global sembari menjalankan kebijakan pemangkasan produksi. Hal itu diungkap oleh pejabat senior Gulf Oil pada awal pekan ini.
“Kami ingin melihat stok komersial turun,” ujar pejabat tersebut di sela konferensi energi CERAWeek IHS Markit di Houston.
Pejabat tersebut menambahkan stok minyak mentah dan produk kilang global harus turun ke level rata-rata lima tahunan. Hal itu sesuai yang ditargetkan OPEC untuk mengurangi pasokan yang membanjir.
Selain itu, pejabat Arab Saudi menyatakan Arab Saudi berencana memangkas ekspor minyak mentah pada April ke level di bawah 7 juta bph.
Harga juga mendapatkan dorongan oleh laporan perusahaan layanan energi Baker Hughes yang menunjukkan jumlah rig pengeboran di AS turun sembilan menjadi 834 rig.
Namun, pada Senin (11/3) kemarin, Badan Internasional Energi (IEA) memperkirakan produksi minyak mentah AS bakal menanjak hampir 2,8 juta bph dari 11 juta bph pada 2018 menjadi 13,7 juta bph pada 2024.
Produksi minyak AS dapat menjadi kurang responsif terhadap harga minyak mentah seiring ekspansi operasional perusahaan minyak utama di lapangan minyak shale AS. Pernyataan itu disampaikan oleh pejabat IEA dalam konferensi energi CERAWeek pekan ini.
Di sisi lain, pasar mendapatkan tekanan setelah AS merilis data ketenagakerjaan pada Jumat (8/3) lalu. Hal itu mengerek kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di Asia dan Eropa telah merembes ke AS.
“Harga Brent telah berusaha keras untuk terdongkrak ke level di atas US$65 per barel, sebagian karena penguatan dolar AS tetap menjadi hambatan utama bagi harga komoditas. Sebagai tambahan, pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) lemah dan permintaan minyak belum terangkat secara musiman,” ujar Bank of America Merrill Lynch dalam laporannya.
Melihat kebijakan pemangkasan OPEC+ dan rendahnya stok global, Merrill Lynch memperkirakan harga Brent akan mencapai US$70 per barel tahun ini.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]