Rilis Data Ritel AS Mulai Batasi Penguatan Harga Minyak
Harga minyak mentah dunia pada perdagangan Kamis (14/2) kemarin menguat. Bahkan, harga minyak mentah berjangka Brent menyentuh level tertingginya untuk tahun ini.
Namun, kenaikan harga dibatasi oleh data belanja ritel AS yang merosot tajam. Data tersebut menambah kekhawatiran investor terhadap perlambatan ekonomi global.
Dilansir dari Reuters, Jumat (15/2), harga minyak mentah berjangka Brent menguat US$0,96 atau 1,5 persen menjadi US$64,57 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung Bremt sempat menyentuh level tertinggi untuk 2019 sebesar US$64,81 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,51 atau 0,95 persen menjadi US$54,41 per barel. Selama sesi perdagangan, WTI sempat terdongkrak ke level US$54,68 per barel.
Harga minyak dunia berfluktuasi bersama dengan pasar modal setelah dirilisnya data lemahnya belanja ritel. Selain itu, kedua pasar juga terpengaruh proyeksi perekonomian AS yang makin suram setelah data kenaikan jumlah pengangguran yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran meningkat pekan lalu.
Tekanan terhadap pasar minyak sempat tertahan juga oleh perhatian investor yang kembali tertuju pada perkembangan perundingan damai perang dagang antara AS-China.
Sebenarnya, harga minyak mentah dunia telah menguat hampir 20 persen sejak awal tahun. Penguatan utamanya dipicu prospek berkurangnya pasokan menyusul kebijakan pemangkasan produksi yang dilalukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia.
Kelompok yang dikenal dengan sebutan OPEC+ itu sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) mulai Januari 2019. Bahkan, Arab Saudi mengatakan akan memangkas lebih banyak lagi dari yang disepakati pada Maret 2019 mendatang.
“Sementara tren jangka menengah menghadapi sejumlah tantangan, kami masih melihat prospek keseimbangan penawaran dan permintaaan minyak tahun ini,” ujar Bank of America (BoA) dalam catatannya.
BoA memperkirakan rata-rata harga Brent akan berada di level US$70 per barel pada tahun ini. Hal itu dipicu oleh penurunan sukarela produksi yang terjadi di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Selain itu, produksi yang terpaksa turun dari Iran dan Venezuela juga turut menggerus produksi OPEC.
“Beberapa pemulihan hari ini di pasar minyak juga nampaknya terkait dengan pelemahan dolar AS setelah menguat di awal sesi perdagangan,” ujar Presiden Ritterbusch & Associates Jim Ritterbusch.
Pelemahan dolar AS di Kamis (14/2) pagi tak lepas dari dirilisnya data lemahnya data belanja ritel AS. Harga minyak juga mendapatkan dorongan dari melonjaknya ekspor China di Januari 2019 lalu yang di luar dugaan.
Selain itu, dorongan terhadap harga minyak juga berasal dari kenaikan tajam impor minyak mentah China sebelum libur perayaan Tahun Baru Imlek pada Februari.
Kendati demikian, kenaikan produksi minyak shale AS membuat stok minyak mentah dan produk kilang Negeri Paman Sam membengkak. Data pemerintah AS yang dirilis Rabu (13/2) lalu menunjukkan stok minyak mentah AS pada pekan lalu menanjak ke level tertingginya sejak November 2017. Peningkatan terjadi seiring kebijakan operator kilang yang memangkas jumlah minyak mentah yang diolah ke level terendah sejak Oktober 2017.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNBC Indonesia
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]