Harga Minyak merosot, Dipicu Ekonomi Global Loyo
Harga minyak mentah dunia merosot sepanjang pekan lalu, dipicu oleh sentimen negatif proyeksi pelemahan ekonomi global. Hal itu dianggap dapat menekan permintaan minyak mentah di tengah menumpuknya stok bahan bakar di Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent merosot 1,7 persen dalam sepekan menjadi US$61,64 per barel.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka WTI sebesar 0,2 persen menjadi US$53,69 per barel.
Secara mingguan, kedua harga acuan global merosot untuk pertama kalinya selama empat pekan terakhir.
Pelemahan kedua harga acuan bisa merosot lebih dalam jika tidak mendapatkan topangan dari gejolak politik di Venezuela yang menjadi ancaman terhadap pasokan minyak mentah.
Pada Kamis (24/1) lalu, pemerintah AS memberi sinyal pengenaan sanksi kepada ekspor Venezuela setelah mengakui pemimpin partai oposisi Juan Guaido sebagai presiden resmi Venezuela. Langkah itu memicu Presiden Venezuela Nicholas Maduro memutus hubungan dengan Washington.
RBC Europe memperkirakan sanksi AS dapat melipatgandakan penurunan produksi minyak mentah Venezuela.
“Penurunan produksi (minyak mentah) Venezuela akan bertambah sebesar 300 ribu hingga 500 ribu barel per hari (bph) tahun ini, namun langkah pemberian sanksi dapat memperbesar penurunan tersebut sebesar beberapa ratus ribu barel,” ujar RBC Europe dalam catatannya.
Kendati demikian, sejumlah analis memperkirakan pengenaan sanksi tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
“Kami berpandangan blokade pada impor Venezuela kemungkinannya kecil dan merupakan opsi terakhir. Jikapun terjadi, itu baru akan dalam beberapa pekan, bahkan bulan ke depan,” ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Ritterbusch menilai perkembangan situasi di Venezuela mampu menunda proyeksi harga minyak tertekan ke level US$50 per barel.
Di sisi lain, sentimen sengketa dagang antara AS-China, proyeksi melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global serta menanjaknya produksi minyak AS menahan kenaikan harga minyak dunia.
Barclays menilai kenaikan produksi minyak AS kemungkinan akan mampu menutup berapapun gangguan pasokan Venezuela akibat pengenaan sanksi AS. Tak ayal, Barclays memangkas proyeksi rata-rata harga Brent dari US$72 per barel menjadi US$70 per barel.
Perusahaan layanan energi Baker Hughes mencatat perusahaan energi AS mengerek jumlah rig sebanyak 10 rig pada pekan lalu menjadi 862 rig. Kenaikan tersebut merupakan yang pertama tahun ini.
Kenaikan produksi minyak mentah AS telah mengerek persediaan bahan bakar Negeri Paman Sam. Berdasarkan data pemerintah AS, persediaan minyak mentah AS naik sebesar 8 juta barel pada dua pekan lalu.
Keuntungan kilang untuk bensin merosot di dunia seiring terhambatnya konsumsi di tengah meningkatnya pasokan. Akibatnya jumlah persediaan di Asia, Amerika, dan Eropa menanjak.
Di pasar AS, margin bensi turun menjadi US$5,7 per barel, terendah sejak 2009. Hal itu terjadi karena lemahnya permintaan untuk bahan bakar dan berlebihnya pasokan.
Para analis memperkirakan pasar akan lebih seimbang seiring pemangkasan produksi yang dilakukan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia. Selain itu, juga ada potensi gangguan pasokan di Venezuela, Iran, dan Libya.
Namun, menurut Kepala Strategi Pasar Komoditas Global BNP Paribas Harry Tchilinguirian menilai pasar masih ragu terhadap proyeksi perekonomian global. Hal itu akan berdampak pada turunnya permintaan global yang dapat menekan konsumsi bahan bakar.
Selanjutnya, sengketa dagang antara AS dan China, serta mengetatnya pasar keuangan global akan menekan aktivitas industri manufaktur di berbagai negara, termasuk China yang pertumbuhan ekonominya terendah untuk hampir 30 tahun terakhir pada tahun lalu.
Berdasarkan jajak pendapat Reuters terhadap ratusan ekonom di dunia, perlambatan ekonomi global bakal lebih parah jika terjadi eskalasi perang dagang AS-China.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Ayooberita.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]