Harga Minyak Tertekan Penurunan Harga Bensin dan Produksi AS
Harga minyak dunia tergelincir pada perdagangan Rabu (23/1), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi seiring keinginan Uni Eropa untuk menghindari pemberlakuan sanksi perdagangan AS terhadap Iran. Selain itu, pelemahan harga bensin di AS juga turut menekan harga minyak.
Dilansir dari Reuters, Kamis (24/1), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$0,36 atau 0,6 persen menjadi US$61,14 per barel. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret sebesar US$0.39 atau 0,7 persen menjadi US$52,62 per barel.
Menteri Luar Negeri Perancis menyatakan Uni Eropa akan berupaya menerapkan sistem untuk memfasilitasi perdagangan dengan Iran tanpa menggunakan dolar AS dalam beberapa hari ke depan. Sistem diberlakukan untuk menghindari pemberlakuan sanksi AS terhadap Iran setelah Negeri Paman Sam tersebut keluar dari perjanjian nuklir.
Kepala Ekonom Spartan Capital Securities di New York Peter Cardillo menyatakan pengumuman Uni Eropa tersebut telah meningkatkan kekhawatiran pasar sehingga membuat harga minyak tertekan. Selain sentimen tersebut, analis juga menyatakan turunnya harga bensin dan meningkatnya produksi minyak mentah di AS juga turut menekan harga minyak mentah.
“Kami menaruh perhatian khusus pada pelemahan selisih NYMEX di mana pasar bensin yang kian berat membuat kenaikan harga WTI untuk waktu dekat menjadi lebih terbatas,” ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch di Chicago melalui catatannya.
Selisih antara harga bensin berjangka AS dan minyak mentah WTI merosot menjadi US$5,97 per barel, terendah sejak 2013. Baik minyak mentah AS dan produk kilang berjangka melanjutkan pelemahannya pada perdagangan pascapenutupan (post-settlement).
Kondisi itu terjadi setelah sebuah laporan industri menunjukkan stok minyak mentah AS melesat tajam pekan lalu. Kemudian, stok bensin dan minyak distilasi juga meningkat.
Institute Perminyakan Amerika (American Petroleum Industry/API) mencatat persediaan minyak mentah naik 6,6 juta barel. Padahal, para analis memperkirakan penurunan sebesar 42 ribu barel.
Stok bensin juga naik sebesar 3,6 juta barel. Angka itu di atas rata-rata perkiraan analis dalam jajak pendapat Reuters, yang memperkirakan kenaikan hanya sebesar 2,7 juta barel. Selanjutnya, stok minyak distilasi juga menanjak sebesar 2,6 juta barel berbeda dengan ekspektasi para analis yang memperkirakan penurunan sebesar 229 ribu barel.
Jika peningkatan stok produk mingguan terkonfirmasi oleh data pemerintah AS yang akan dirilis Kamis (24/1) ini, hal itu akan menjadi peningkatan untuk kedelapan kalinya secara berturut-turut untuk bensin dan lima kali berturut-turut untuk kedua bensin dan minyak distilasi.
Sementara itu, pemerintah AS menekan Presiden Venezuela Nicolas Maduro pada Rabu (23/1). Hal itu dilakukan dengan mengumumkan pengakuan terhadap pemimpin oposisi di Venezuela sebagai presiden sementara dan memberikan sinyal akan menjatuhkan sanksi baru terhadap sektor perminyakan Venezuela.
Namun demikian, pelaku pasar menilai pengenaan sanksi baru tersebut berpotensi memukul perusahaan kilang AS yang merupakan konsumen terbesar dari minyak mentah Venezuela. Pasalnya, Venezuela yang merupakan anggota OPEC kemungkinan akan menjual lebih banyak minyak mentah ke China, India, atau negara-negara di Asia lainnya.
Porsi ekspor Venezuela ke AS sendiri telah merosot dalam beberapa tahun terakhir. Ekspor lebih banyak dikirim ke Rusia dan China, terutama menggunakan skema pembayaran utang dengan minyak.
“Hal ini akan membuat pasar yang ketat menjadi lebih ketat. Jika ini terjadi, ini akan menjadi hambatan yang jelas untuk pengelola kilang (AS) yang tengah berjuang untuk mendapatkan pasokan,” ujar Presiden Direktur Rapidan Energy Group Bob McNally di Maryland.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Finroll.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]