Penghentian Stimulus Bank Sentral Eropa akan Tekan Rupiah
Nilai tukar rupiah diperdagangkan pada posisi Rp14.513 per dolar AS pada Jumat (14/12) pagi. Posisi ini melemah 16 poin atau 0,11 persen dari kemarin sore, Kamis (13/12) di Rp14.496 per dolar AS.
Di kawasan Asia, beberapa mata uang ikut tergelincir bersama rupiah ke zona merah. Won Korea Selatan melemah 0,37 persen, ringgit Malaysia minus 0,1 persen, dolar Singapura minus 0,07 persen, dan peso Filipina minus 0,01 persen.
Namun, dolar Hong Kong tetap bertahan di zona hijau dengan menguat 0,05 persen, baht Thailand 0,07 persen, dan yen Jepang 0,12 persen.
Begitu pula dengan mata uang utama negara maju, beberapa diantaranya terperosok ke zona merah setelah kemarin menguat dari dolar AS. Dolar Australia melemah 0,34 persen, rubel Rusia minus 0,23 persen, poundsterling Inggris minus 0,14 persen, dan dolar Kanada minus 0,03 persen.
Hanya euro Eropa dan franc Swiss yang tetap menguat dari mata uang Negeri Paman Sam, masing-masing menguat 0,03 persen dan 0,05 persen. Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan pergerakan rupiah dan sejumlah mata uang berpotensi melemah pada hari ini karena terkena sentimen pernyataan dari Bank Sentral Eropa, The European Central Bank (ECB) pada malam tadi, Kamis (13/12) waktu Indonesia.
Dalam pernyataannya, ECB kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di posisi nol persen. Penahanan tingkat bunga acuan kemungkinan akan dilangsungkan hingga musim panas tahun depan.
Bersamaan dengan itu, ECB juga turut mengumumkan rencana menghentikan kebijakan pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE) setelah empat tahun berlangsung. QE merupakan kebijakan membeli surat utang atau obligasi secara besar-besaran untuk mencegah penurunan suplai uang.
Dengan kebijakan ini, ECB setidaknya sudah membeli sekitar 2,6 triliun euro sejak 2015 lalu. Sementara penghentian QE bakal dilangsungkan pada akhir Desember ini.
“Terapresiasinya euro Eropa terhadap dolar AS terjadi setelah ECB tidak melakukan perubahan terhadap suku bunga acuannya dan mengumumkan akan mengakhiri kebijakan stimulus pembelian obligasi,” ujarnya, Jumat (14/12).
Sayangnya, hal ini justru membuat sejumlah mata uang berbalik melemah dari dolar AS. Meski sebenarnya sentimen pelemahan dolar AS masih ada, yaitu rendahnya rilis data inflasi tingkat harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS. Inflasi AS pada November 2018 berada di kisaran nol persen atau stagnan dari bulan lalu.
“Pelaku pasar memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan permintaan di mata uang selain dolar AS,” terangnya.
Sumber : Cnnindonesia.com
Gambar : skanaa.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]