Ancaman Penutupan Pemerintahan AS Dongkrak Harga Minyak

Harga minyak mentah dunia menanjak pada perdagangan Selasa (11/12), waktu Amerika Serikat (AS). Namun, kenaikan harga minyak terbatas oleh kinerja pasar saham yang negatif akibat kekhawatiran terhadap kemungkinan berhentinya operasional pemerintahan AS.

Dilansir dari Reuters, Rabu (12/12), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,23 atau 0,4 persen menjadi US$60,2 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,65 atau 1,3 persen menjadi US$51,65 per barel.

Pasar saham AS tertekan setelah Presiden AS Donald Trump mengancam untuk ‘menutup’ pemerintahan AS demi pendanaan pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko. “Sepertinya prospek berhentinya operasional pemerintahan AS tidak bagus untuk kinerja aset manapun. Pasar modal bereaksi pertama yang menyeret harga minyak bersamanya,” ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.

Di awal sesi perdagangan, harga minyak sebenarnya mendapatkan dorongan setelah National Oil Company (NOC) Libya mengumumkan kondisi kahar pada ekspor minyak dari lapangan minyak terbesarnya El Sharara. Pekan lalu, lapangan tersebut direbut oleh kelompok militan.

Pada Senin lalu, NOC menyatakan berhentinya operasional lapangan minyak El Sharara akan menghilangkan produksi sebesar 315 ribu barel per hari (bph) dan tambahan produksi yang hilang dari lapangan minyak El Feel sebesar 73 ribu bph.

Di sisi lain, harga minyak tertekan juga tertekan pemangkasan produksi Rusia yang lebih lambat dari ekspektasi. Pemangkasan tersebut merupakan bagian dari kesepakatan bersama Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta bph.

Pada Selasa kemarin, Rusia menyatakan hanya berencana untuk memangkas produksi sebesar 50 ribu hingga 60 ribu bph pada Januari 2019. Namun, secara bertahap, jumlah itu akan dinaikkan hingga mencapai 220 ribu bph.

“Harga minyak mentah berjangka relatif tidak berubah dari sebelum kesepakatan OPEC mengingat pasar masih khawatir terhadap indikasi lambatnya pengurangan produksi yang dilakukan Rusia bulan depan,” ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch di Chicago dalam catatannya.

Para analis lain mencermati pengurangan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, kemungkinan tidak terlalu besar untuk mengembalikan keseimbangan pasar. Khususnya, setelah pemerintah AS memproyeksikan Negeri Paman Sam bakal mengakhiri tahun ini sebagai negara produsen minyak terbesar baru di dunia.

Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) memprediksi produksi minyak mentah AS bakal terkerek 10,9 juta bph pada tahun ini dan 12,1 juta bph pada 2019.

Hari ini, Institut Perminyakan Amerika (API) bakal merilis data persediaan minyak AS. Berdasarkan jajak pendapat Reuters, para analis memperkirakan persediaan minyak mentah merosot tiga juta barel pekan lalu.

 

 

 

 

Sumber : CnnIndonesia.com
Gambar : Ekonomi

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *