Harga Minyak Naik, Dipicu Pernyataan OPEC Soal Produksi
Harga minyak mentah di pasar berjangka naik lebih dari 1 persen pada perdagangan Selasa (18/9), waktu Amerika Serikat (AS). Kenaikan dipicu oleh sinyal yang diberikan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terkait ketidaksiapannya dalam mengerek produksi. Selain itu, sentimen kondisi negara produsen minyak Arab Saudi yang memasang target tak jauh dari level produksi sekarang juga memicu peningkatan harga minyak. Rabu (19/9), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,98 atau 1,3 persen menjadi US$79,03 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,94 atau 1,4 persen menjadi US$69,85 per barel. Namun, harga merosot pada perdagangan pasca penutupan (post-settlement) usai Institut Perminyakan Amerika (API) merilis data kenaikan persediaan minyak mentah AS sebesar 1,2 juta barel menjadi 397,1 juta barel pada pekan yang berakhir 14 September 2018. Padahal sebelumnya analis memperkirakan stok minyak AS menurun 2,7 juta barel.
Para menteri negara produsen minyak yang merupakan anggota OPEC dan non-OPEC bertemu pada Minggu (16/9) lalu untuk membahas terkait kepatuhan kebijakan produksi. Beberapa sumber dari OPEC telah mengatakan kepada Reuters tidak ada aksi yang direncanakan dalam waktu dekat, dan produsen akan mendiskusikan soal kenaikan produksi yang sebelumnya disepakati. Dalam laporan Bloomberg yang dikutip Reuters, sumber dari Arab Saudi yang tidak disebutkan namanya menyatakan kerajaan masih nyaman dengan harga di atas US$80 per barel, setidaknya untuk jangka pendek. Arab Saudi juga tidak berniat mendongkrak harga minyak di atas level US$80 per barel.
Rencana kenaikan produksi negara OPEC dan non-OPEC dilempar untuk mengimbangi berkurangnya pasokan minyak global akibat pengenaan sanksi AS terhadap Iran. Sanksi AS terhadap sektor minyak Iran akan berlaku efektif mulai 4 November 2018 mendatang. Sebelumnya, Reuters melaporkan Arab Saudi ingin harga minyak tetap berada di level US$70 hingga US$80 per barel untuk sekarang. Negara pengekspor minyak terbesar dunia ini ingin menyeimbangkan antara upaya memaksimalkan pendapatan sembari menjaga tingkat harga hingga pemilihan anggota kongres AS.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan harga minyak di kisaran US$70 hingga US$80 hanya akan bertahan sementara karena dipicu oleh sanksi AS terhadap Iran. Namun, dalam jangka panjang, harga akan stabil di kisaran US$50 per barel. Saat berkunjung ke Moscow pekan lalu, Menteri Energi AS Rick Perry menyatakan belum melihat harga minyak bakal melonjak dan memandang positif produksi minyak Arab Saudi.
Harga minyak kemarin juga mendapatkan sokongan dari risiko geopolitik. Kementerian Pertahanan Rusian menyatakan pesawat militer Rusia telah ditembak oleh sistem anti pesawat Suriah. Rusia menuduh Israel yang secara tidak langsung menjadi biang kerok kejadian karena jet tempur Israel yang berada di dekat lokasi membuat rute pesawat Rusia dalam bahaya.
Kementerian Luar Negeri Rusia telah mengatakan hal tersebut kepada Israel dan akan mengambil setiap tindakan untuk melindungi anggota militernya di Suriah. Perang Dagang Batasi Kenaikan Harga Eskalasi perang dagang AS-China masih membuat proyeksi permintaan minyak suram ke depan. Hal itu membebani harga minyak. Kemarin, China, yang merupakan salah satu konsumen minyak terbesar dunia, menambah impor produk AS senilai US$60 miliar pada daftar pengenaan tarifnya. Kebijakan tersebut merupakan balasan atas rencana Presiden AS Donald Trump yang ingin mengerek tarif pada US$200 miliar impor produk dari China.
Senin (17/9) lalu, pemerintahan Trump menyatakan bakal memulai untuk mengerek tarif baru sebesar 10 persen pada US$200 miliar produk impor China. Tarif akan naik hingga 25 persen pada akhir 2018. Pengenaan tarif tersebut kemungkinan bakal membatasi aktivitas ekonomi kedua negara. “Kebijakan luar negeri berbahaya (brinkmanship) Beijing dan Washington berpotensi berdampak parah pada daya saing minyak mentah AS dan produk minyak dari China, serta membatasi investasi China pada sektor energi AS,” ujar Analis Senior Bidang Energi Interfax Energy Abhisek Kumar di London.
Sumber Berita : Cnnindonesia.com
Sumber foto : Ayooberita.com
[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]