Kode Etik Disepakati, Jalan Perdamaian LCS Masih Panjang

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan perjalanan menuju perdamaian di Laut China Selatan masih panjang, meski sudah menemui banyak kemajuan dalam beberapa waktu terakhir. “Laut China Selatan lebih tenang saat ini, ada langkah positif, namun perjalanan masih jauh,” kata Vivian dalam wawancara dengan wartawan dari negara ASEAN di Singapura, Senin (6/8).

Pekan lalu, dalam Pertemuan Menteri ASEAN dan China di Singapura, disepakati draf dokumen negosiasi Code of Conduct (CoC) atau kode etik Laut China Selatan. Vivian mengatakan meski CoC tak bisa menjadi solusi bagi semua kasus sengketa wilayah, CoC dimaksudkan untuk menyetujui norma perilaku demi mengurangi ketegangan, meningkatkan kepercayaan diri dan meningkatkan kepercayaan diri agar menyelesaikan perselisihan teritorial dengan damai.

“Sementara itu negara-negara yang terlibat dalam jangka panjang bisa menyelesaikan [masalah] melalui negosiasi dan hukum internasional, tanpa menggunakan kekuatan dan ancaman kekerasan,” tambah Vivian. Menurutnya, meski tak terlibat langsung dalam sengketa, Singapura dan negara ASEAN lain tetap bergantung pada perdamaian dan stabilitas, kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut China Selatan.

“Bahkan jika tidak ada konflik, namun tensi meningkat, biaya pengiriman, asuransi akan naik. Akan ada dampak ekonomi nyata bagi kami, bagi semua orang. Bahkan jika tidak ada peluru, hanya ketegangan saja, ada harga yang harus dibayar,” kata Vivian. Untuk itu, ia menegaskan meski solusi dalam waktu cepat belum bisa dicapai, langkah untuk menurunkan tensi sangat mungkin dilakukan. Kerangka CoC sendiri berhasil disepakati China dan negara ASEAN setelah bertahun-tahun dinegosiasikan.

Dimulai pada 2002 setelah dua tahun negosiasi, ASEAN dan China sepakat untuk membuat pernyataan politik tak mengikat terkait Laut China Selatan. Satu dekade kemudian, Indonesia mengusulkan kode etik (CoC) regional di perairan tersebut, bernama “Draft Nol Kode Etik Regional di Laut China Selatan”–yang berdasar pada kesepakatan pada 2002.

Pada 2014, China untuk pertama kalinya bersedia melakukan dialog terkait CoC, hingga akhirnya disepakati pada Juni lalu saat ASEAN-China bertemu di Changsha, Provinsi Hunan, China. Perairan jalur perdagangan internasional ini menjadi kawasan rentan konflik sejak China mengklaim 90 persen wilayah Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan wilayah sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

 

 

 

 

Sumber Berita : cnnindonesia.com
Sumber foto : cnnindonesia.com

 

 

 

[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *