Ritel AS Buruk, Hantu Resesi Datang Lagi

Departemen Perdagangan AS melaporkan kontrak penjualan ritel AS pada September turun untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan terakhir. Kontraksi di sektor manufaktur diperkirakan sudah menyebar ke sektor ekonomi lain yang lebih luas.

Penjualan ritel secara tak terduga merosot 0,3% pada bulan September karena rumah tangga mengurangi pengeluaran untuk kendaraan bermotor, bahan bangunann, hobi hingga pembelian online. Penurunan ini merupakan yang pertama sejak Februari 2019.

Sementara itu, data Agustus direvisi dari 0,4% ke 0,6%. Sebelumnya, pada September 2018, penjualan ritel meningkat 4,1%. Data yang lemah menambah kekhawatiran atas potensi resesi.

Penjualan ritel pada September terbebani oleh penurunan 0,9% dalam penjualan mobil, meskipun suku bunga kredit lebih rendah. Itu adalah penurunan terbesar dalam delapan bulan dan mengikuti percepatan 1,9% pada bulan Agustus.

Penerimaan di pom bensin turun 0,7%, mencerminkan bensin yang lebih murah. Penjualan di toko elektronik dan alat tidak berubah, tidak mendapat dorongan dari peluncuran model iPhone baru Apple.

Penjualan di toko bahan bangunan turun 1,0%. Penjualan ritel online turun 0,3%, terbesar sejak Desember 2018. Itu mengikuti kenaikan 1,2% pada Agustus. Pengeluaran untuk hobi, alat musik dan toko buku turun 0,1%.

Tetapi pemasukan di toko pakaian rebound 1,3% bulan lalu setelah jatuh 0,7% pada Agustus. Penjualan di toko furnitur meningkat 0,6%. Penjualan di restoran dan bar naik 0,2%.

“Meskipun ini bukan bukti yang bisa menyimpulkan bahwa konsumen tengah goyah, tetap saja menguatkan kekhawatiran kita akan penghematan pengeluaran akan memicu perlambatan konomi yang bersifat tahan lama,” kata Kepala Riset BMO Capital Markets di AS Ian Lyngen.

Sebelumnya Moody’s Analytics mengatakan tingkat kemungkinan terjadinya resesi pada ekonomi global dalam 12-18 bulan ke depan ‘sangat tinggi’. Mirisnya, pembuat kebijakan mungkin tidak akan mampu untuk mencegah masalah ini.

“Saya pikir risiko sangat tinggi sehingga jika sesuatu berjalan di luar skenario maka kita akan menghadapi resesi,” kata Kepala Ekonom Moody’s Analytics Mark Zandi.

“Saya juga akan mengatakan ini: Bahkan jika kita tidak mengalami resesi dalam 12-18 bulan ke depan, saya pikir pasti kita akan menghadapi banyak perlambatan ekonomi,”.

“Saya pikir tinggi, saat tinggi,” katanya lagi, kepada Squawk Box Asia saat ditanya mengenai kemungkinan terjadinya resesi ekonomi.

Zandi menyebut, untuk menghindari perlambatan ekonomi, dibutuhkan banyak faktor yang juga harus sesuai skenario. Hal itu termasuk memastikan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk tidak meningkatkan perang dagang dengan China.

Penyelesaian rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) juga harus segera. Selain itu, bank-bank sentral juga harus semakin banyak menyuntikkan stimulus moneter.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Solopos.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

 

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *