Kontras Kritik Pembentukan Koopssus TNI: Potensi Langgar HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI yang diresmikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu. Koopssus ini sebelumnya dibentuk untuk mengatasi ancaman asimetris yang terus berkembang, salah satunya terorisme.

Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai, pelibatan Koopssus dalam penanganan terorisme justru berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM.

“Jika tidak disertai mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang memadai, maka potensi terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme,” ujar Yati melalui keterangan yang dikutip dari laman KontraS, Kamis (1/8).

Yati juga khawatir tugas Koopssus akan tumpang tindih dengan Detasemen Khusus 88 Polri yang memang secara tugas khusus menangani terorisme. Terlebih dalam Perpres 42 Tahun 2029 yang memayungi aturan tentang pembentukan Koopssus ini juga tak menjelaskan secara detail tugas dan tanggung jawab satuan yang terdiri dari pasukan khusus penanggulangan teror dari tiga matra TNI tersebut.

“Masih belum jelas sejauh mana kewenangan yang nantinya dimiliki Koopssus TNI, serta bagaimana hubungannya dengan Densus 88 Polri. Apakah nanti akan bekerja otonom tanpa di bawah komando Polri?” katanya.

Yati mengatakan, pelaksanaan UU Tindak Pidana Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana. Sementara TNI bukan penegak hukum yang punya kewenangan menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana tersebut.

Menurutnya, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme mestinya mempertimbangkan aturan hukum, termasuk masing-masing fungsi lembaga yang bersangkutan.

“Oleh karena itu kewenangan Koopssus yang luas tanpa batasan yang jelas dalam penanganan terorisme ini rentan merusak sistem peradilan pidana,” katanya.

Lebih lanjut Yati menuturkan, kewenangan TNI dalam penanganan terorisme telah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal 7 ayat (2) menjelaskan bahwa pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik.

“Militer ini bukan penegak hukum tapi alat pertahanan negara, sehingga potensi pendekatan war model oleh Koopssus dalam penanganan terorisme sangat mungkin terjadi,” ucap Yati.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak DPR dan Presiden Joko Widodo untuk mengawasi keberadaan Koopssus tersebut.

“Kami mendesak DPR dan Presiden RI selaku institusi yang memiliki kewenangan politik untuk mengawasi dan mengendalikan TNI, memastikan pencegahan kerentanan tugas Koopssus,” tuturnya.

Koopssus TNI sebelumnya diklaim untuk melengkapi jajaran satuan elite yang telah dimiliki TNI. Sebagai satuan elite, personel Koopssus TNI berasal dari pasukan khusus AD, AL, dan AU.

Ketiga matra TNI sendiri memiliki pasukan elite untuk penanggulangan teror. AD misalnya, punya Satuan Penanggulangan Teror (Gultor) 81. AL punya Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). Sedangkan AU memiliki Detasemen Bravo 90.

Adapun fungsi-fungsi Koopssus nanti akan dilakukan oleh satu kompi atau 100 personel. Selain itu, Koopssus juga dibantu oleh 400 personel gabungan dari TNI AD, AL, dan AU.

Ke depannya, Koopssus juga bakal berkoordinasi dengan Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Riaubook.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *