Stok Melimpah & Perang Dagang Buat Harga Minyak Tertekan

Harga minyak mentah lanjut melemah pada perdagangan Kamis (23/5/2019) pagi setelah anjlok cukup dalam sehari sebelumnya. Peningkatan inventori minyak di Amerika Serikat (AS) menjadi sentimen utama yang menekan harga minyak sejak kemarin.

Meskipun demikian, pemangkasan produksi yang dilakukan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) masih memberi fondasi pada pergerakan harga.

Hingga pukul 08:13 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli melemah 0,3% ke posisi US$ 70,78/barel setelah terkoreksi 1,65% kemarin (22/5/2019). Di saat yang bersamaan, harga minyak light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli juga turun 0,28% menjadi US$ 61,25/barel setelah anjlok hingga 2,49% kemarin.

Stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 17 Mei 2019 melonjak hingga 4,7 juta barel, mengahtarkan posisi inventori ke level 476,8 juta barel atau tertinggi sjak Juli 2017. Data tersebut diungkapkan oleh lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) pada hari Rabu (22/5/2019).

Beberapa analis mengatakan bahwa peningkatan inventori minyak AS terkait dengan aktifitas pengolahan di kilang-kilang yang lebih rendah dari biasanya, mengutip Reuters. Terutama aktifitas kilang di wilayah Midwest yang berada di level terendah sejak 2013.

Pekan lalu tingkat utilisasi kilang pengolahan minyak AS berada di level 89,9% dari kapasitas total. Sementara utilisasi kilang Midwest hanya sebesar 82,7% yang yang merupakan terendah sejak Mei 2013.

Ini bukan merupakan kabar baik bagi pasar minyak mentah karena menandakan konsumsi minyak yang cenderung terbatas. Apalagi sebentar lagi di daerah Amerika Utara akan memasuki musim panas.

Saat musim panas, masyarakat AS gemar berkendara untuk menikmati liburan dan konsumsi minyak aka berada pada level puncaknya. Namun aktifitas kilang yang lesu menandakan bahwa proyeksi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini tidak akan setinggi biasanya.

Di sisi lain, produksi minyak AS pekan lalu naik lagi 100.000 barel/hari menjadi 12,2 juta barel/hari yang mana masih berada di kisaran rekor tertinggi 12,3 juta barel/hari.

Melemahnya konsumsi saat produksi minyak meningkat tentu saja akan membuat keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) menjadi timpang. Harga pun harus turun untuk menyesuaikan level keseimbangan.

Selain itu, menurut Ole Hansen, kepala strategi komoditas Saxo Bank, mengatakan bahwa perang dagang AS dengan China juga memberi tekanan ke bawah pada pergerakan harga minyak.

Sebagai informasi, pekan lalu resmi sudah perang dagang AS-China jilid II dimulai. AS mengenakan tarif masuk sebesar 25% atas produk China senilai US$ 200 miliar. Sedangkan China mengenakan trif tambahan bervariasi antara 5%-25% untuk produk-produk made in USA senilai US$ 60 miliar.

Kemarin, Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada rencana untuk kembali berunding dengan pihak China terkait perdagangan, seperti yang dikutip dari CNBC International.

Kala perang dagang antara dua raksasa ekonomi terjadi, maka rantai pasokan global akan terhambat. Ujung-ujungnya aktifitas industri dan ekonomi global akan melambat yang ikut memangkas pertumbuhan permintaan energi, termasuk minyak bumi.

Namun setidaknya rencana OPEC+ (OPEC dan sekutunya) untuk memangkas produksi minyak hingga akhir tahun 2019 dapat menahan pelemahan harga.

Awal Desember 2018 silam, OPEC+ telah sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari selama enam bulan mulai Januari 2019.

Kebijakan tersebut terbukti ampuh mendongkrak harga minyak hingga lebih dari 30% sejak awal tahun. Bahkan berdasarkan data Refinitiv, OPEC telah memangkas produksi hingga hampir 2 juta barel/hari, yang artinya lebih besar dari kesepakatan.

Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa Organisasi Negar-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan tetap berusaha mengurangi pasokan minyak secara bertahap pasca Juni 2019.

Artinya ada harapan pasokan tetap ketat hingga akhir tahun. Harga pun berpotensi semakin meningkat.

Analis bank Morgan Stanley memprediksi harga Brent akan berada di kisaran US$ 75-80/barel pada semester II-2010.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Arab News

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *