Perang Libya Dongkrak Harga Minyak di Awal Pekan

Harga minyak pada perdagangan Senin (8/4) waktu Amerika Serikat (AS) menguat hingga 2 persen. Penguatan dipicu oleh ekspektasi pengetatan pasokan minyak global akibat perang di Libya, pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), serta pengenaan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.

Dilansir dari Reuters, Selasa (9/4), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,76 atau 1,1 persen menjadi US$71,1 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,32 atau 2,1 persen menjadi US$64,4 per barel.

Selama sesi perdagangan berlangsung, Brent sempat menyentuh level US$71,19 per barel dan WTI sebesar US$64,44 per barel. Level harga tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2018.

“‘Banteng’ terus berlari dengan tembusnya tingkat harga tertinggi baru dalam lima bulan terakhir. Itu mempertegas kelompok spekulator yang baru-baru ini kembali tertarik ke sisi beli WTI dengan agresif,” ujar Pimpinan Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.

Pelaku pasar menyatakan harga melanjutkan penguatan setelah data Genscape menunjukkan stok minyak di hub pengiriman WTI di Cushing, Oklahoma merosot sekitar 419 ribu barel pekan lalu.

Investor sendiri menaruh perhatian pada kondisi pasokan selama sesi perdagangan berlangsung seiring terjadinya pertempuran di Libya yang mengancam terganggunya ekspor. Kelompok Timur telah menuju ibu kota negara, mengacuhkan seruan dunia untuk perdamaian.

“Kekerasan di Libya menarik perhatian pasar,” ujar Partner Again Capital LLC John Kilduff di New York.

Menurut Kilduff, gangguan pasokan di Libya bersamaan dengan upaya Arab Saudi dan negara lain untuk membatasi produksi akan memperketat pasokan.

OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, menyepakati untuk mengurangi produksi sejumlah 1,2 juta barel per hari (bph) sejak awal tahun. Sejauh ini, pemangkasan produksi yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Arab Saudi itu telah melampaui ekspektasi.

“Pemangkasan pasokan OPEC yang sedang berjalan dan pengenaan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah menjadi pendorong utama harga sepanjang tahun ini,” ujar Kepala Strategi Pasar FXTM Hussein Sayed.

Di tengah faktor pendongkrak harga, masih ada sejumlah faktor yang dapat menekan harga tahun ini.

Pada awal pekan ini, Kepala Dana Investasi Langsung Rusia Kirill Dmitriev memberikan sinyal Rusia ingin mengerek produksi minyaknya kembali setelah kesepakatan dengan OPEC berakhir di Juni 2019.

Dmitriev menambahkan akan baik bagi Rusia jika produksi kembali meningkat sebesar 228 ribu bph atau sama dengan jumlah produksi yang dipangkas sebelumnya.

“Bahkan, mungkin (penambahan produksi) lebih banyak,” ujarnya.

Menteri Energi Arab Saudi Khalif al-Falih menyatakan masih terlalu dini untuk mengatakan sudah ada konsensus antara OPEC dan sekutunya untuk memperpanjang kebijakan pasokan. Namun, pertemuan bulan depan akan menjadi kunci.

Tahun lalu, produksi minyak Rusia mencetak rekor domestik dengan mencapai level 11,16 juta bph. Kemudian, pada akhir Maret lalu, produksi minyak AS mematahkan rekor dunia dengan produksi mencapai 12,2 juta bph.

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Kurio

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *