Harga Minyak di Asia Makin Tertekan Akibat Melambatnya Ekonomi China

Harga Minyak Asia pada Senin pagi (21/1/2019) menurun karena tertekan kekhawatiran ditengah melambatnya ekonomi China dalam 28 tahun terakhir, meskipun negara – negara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksinya.

Minyak mentah berjangka internasional Brent diperdagangkan di 62,57 dolar AS per barel pada pukul 02.15 GMT (09.15 WIB), turun 13 sen AS atau 0,2 persen, dari penutupan terakhir mereka. Sementara itu, Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), merosot 11 sen atau 0,2 persen, menjadi 53,69 dolar AS per barel.

Ekonomi China tumbuh 6,6 persen pada 2018, ekspansi paling lambat dalam 28 tahun terakhir dan pendinginan dari 6,8 persen yang direvisi pada 2017, data resmi menunjukkan pada Senin. Pertumbuhan China September-Desember 2018 berada pada 6,4 persen, turun dari 6,5 persen pada kuartal sebelumnya.

Perlambatan pertumbuhan di China, yang telah menghasilkan hampir sepertiga dari pertumbuhan global dalam dekade terakhir, memicu kekhawatiran tentang risiko terhadap ekonomi dunia dan membebani laba untuk perusahaan-perusahaan mulai dari Apple hingga produsen-produsen mobil besar.

“Prospek global tetap suram, meskipun muncul sentimen positif dari pernyataan ‘dovish’ Fed (sekarang meningkatkan permohonan KPR AS), pelonggaran China yang lebih cepat (stabilisasi pertumbuhan kredit China) dan gencatan senjata AS-China yang lebih lama,” kata bank JP Morgan AS yang dilansir dari Reuters.

Meskipun demikian, analis mengatakan pemotongan pasokan yang dipimpin oleh OPEC kemungkinan akan mendukung harga Minyak mentah.

“Brent bisa tetap di atas 60 dolar AS per barel di tengah kepatuhan OPEC+, berakhirnya keringanan Iran dan pertumbuhan produksi AS yang lebih lambat,” kata JP Morgan. Mereka merekomendasikan investor akan “tinggal lama” di Minyak mentah.

Para peneliti di Bernstein Energy mengatakan pengurangan pasokan yang dipimpin oleh OPEC “akan memindahkan pasar kembali ke defisit pasokan” untuk sebagian besar 2019 dan bahwa “ini akan memungkinkan harga Minyak naik menjadi 70 dolar AS per barel sebelum akhir tahun dari level saat ini 60 dolar AS per barel.”

Di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan energi mengurangi 21 rig pengeboran Minyak dalam seminggu yang berakhir 18 Januari, menjadikan total riga yang beroperasi hanya 852 rig, terendah sejak Mei 2018, perusahaan jasa energi Baker Hughes mengatakan dalam sebuah laporan mingguan pada Jumat (18/1).

Itu adalah penurunan terbesar sejak Februari 2016, karena pengebor bereaksi terhadap penurunan 40 persen pada harga Minyak mentah AS akhir tahun lalu.

Namun, produksi Minyak mentah AS masih naik lebih dari dua juta barel per hari (bph) pada 2018, ke rekor 11,9 juta barel per hari.

Dengan jumlah rig satgnan, tingkat pertumbuhan tahun lalu tidak mungkin terulang pada 2019, meskipun sebagian besar analis memperkirakan produksi tahunan rata-rata jauh di atas 12 juta barel per hari, menjadikan Amerika Serikat produsen Minyak terbesar dunia di depan Rusia dan Arab Saudi.

 

 

 

 

 

Sumber : akurat.co
Gambar : Warta Nasional

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *