Aktivitas Manufaktur Asia Melemah Akibat Perlambatan China

Aktivitas produksi di seluruh Asia melemah pada Desember sebagai dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, serta perlambatan permintaan di China.

Dikutip dari Reuters, serangkaian indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) Desember yang dirilis pada Rabu (2/1) menunjukkan penurunan atau perlambatan aktivitas pabrik manufaktur di seluruh wilayah Asia. Di China, indeks manufaktur mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 19 bulan.

Melemahnya manufaktur di China meluas ke ekonomi Asia lainnya, dengan aktivitas manufaktur Malaysia juga menyusut, mencatatkan laju ekspansi paling lemah sejak survei dimulai 2012. Manufaktur Taiwan juga mengalami kontraksi ke level terendah sejak September 2015.

Sementara itu, data ekonomi resmi dari Singapura menunjukkan Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh lebih lambat dari perkiraan pada kuartal keempat karena sektor manufaktur negara kota itu mengalami kontraksi secara kuartalan.

Di wilayah lain, zona euro diperkirakan akan mencatat pertumbuhan aktivitas manufaktur yang stabil, sementara aktivitas AS terlihat sedikit lebih lambat, tetapi masih kuat. Hal ini menjadi tanda bahwa sejauh ini China telah menderita lebih banyak dalam perang dagang dengan AS.

Dengan pertumbuhan yang melambat dan inflasi di bawah target di sebagian besar negara, bank sentral Asia tidak mungkin untuk melanjutkan siklus pengetatan pada tahun ini.

“Kami benar-benar melihat perlambatan global ke tahun ini, dan di Asia, khususnya negara-negara yang berorientasi ekspor mengalami kerusakan,” kata Irene Cheung, Ahli strategi Asia di ANZ.

Dua negara ekonomi terbesar di dunia sepakat pada awal Desember untuk melakukan gencatan perang dagang selama 90 hari menahan rencana penganaan tarid yang telah mengganggu aliran barang ratusan miliar dolar antara kedua negara.

Kedua belah pihak telah berjanji untuk mengadakan pembicaraan dalam dua bulan ke depan, tetapi ketidakpastian apakah mereka dapat menjembatani perbedaan besar atas praktik komersial dan hak kekayaan intelektual tetap sangat tinggi, meskipun Presiden AS Donald Trump menyebut ada “kemajuan besar” dalam tweet-nya terkait diskusi dengan China.

Tarif bukan satu-satunya hambatan bagi ekonomi Tiongkok. Upaya berkelanjutan Beijing untuk mengurangi risiko utang dalam ekonomi telah mendinginkan pasar properti dan membatasi aliran kredit ke sektor swasta. Sementara itu, tindakan keras pemerintah yang semakin intensif terhadap polusi telah merusak aktivitas industri.

Dalam konferensi tahunan utama bulan lalu, para pemimpin utama Cina mengatakan mereka akan meningkatkan dukungan untuk ekonomi pada 2019 dengan memotong pajak dan menjaga likuiditas yang cukup, sambil berjanji untuk melanjutkan negosiasi dengan Washington.

“Bank Rakyat Tiongkok mungkin harus melonggarkan lebih jauh untuk mengimbangi dampak tarif,” kata Robert Michele, kepala investasi dan kepala pendapatan tetap, J.P Morgan Asset Management.

Pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 6,5 persen pada kuartal ketiga tahun lalu, terlemah sejak krisis keuangan global.

Reuters melaporkan bahwa penasihat pemerintah telah merekomendasikan target pertumbuhan 6,0-6,5 persen untuk tahun ini pada pertemuan tahunan, meskipun angka terakhir tidak akan diumumkan kepada publik sampai pertemuan parlemen tahunan pada awal Maret.

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Berita Medan

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *