Perpecahan Suara di OPEC Tekan Harga Minyak

Harga minyak mentah dunia turun tipis pada perdagangan Rabu (12/12), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi setelah Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh menyatakan terdapat kubu-kubu yang berbeda di internal Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Komentar tersebut menekan harga minyak setelah sebelumnya menguat usai kesepakatan pemangkasan produksi OPEC dan berkurangnya ekspor minyak dari Libya.

Dilansir dari Reuters, Kamis (13/12), harga minyak mentah Brent berjangka melemah tipis US$0,05 menjadi US$60,15 per barel. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate merosot US$0,5 menjadi US$51,15 per barel.

Harga minyak telah merosot sekitar sepertiga sejak awal Oktober lalu di mana harga minyak mentah sempat terdongkrak hingga ke level US$87 per barel. Kuartal IV 2018 diperkirakan bakal menjadi waktu terberat bagi harga minyak. Pasalnya, pada kuartal IV harga minyak bakal mengalami penurunan terbesar sejak kuartal IV 2014.

Di awal sesi perdagangan, harga minyak mentah sebenarnya sempat terdongkrak akibat menurunnya ekspor Libya dan rencana pemangkasan produksi oleh OPEC. Namun, kenaikan tersebut tak bertahan lama.

Dalam wawancaranya dengan televisi pemerintah Iran, Zanganeh mengatakan sebagian besar anggota OPEC tidak ramah dengan tiga produsen minyak terbesar mereka.

Pekan lalu, OPEC sepakat untuk memangkas produksi setelah Iran memberikan lampu hijau atas kesepakatan tersebut. Sebagai catatan, ekspor minyak mentah Iran telah merosot akibat pengenaan sanksi AS.

Pada Rabu kemarin, OPEC menyatakan telah mengimbangi berkurangnya ekspor Iran. Dalam wawancara dengan stasiun TV pemerintah pada Selasa pekan ini, Presiden Iran Hassan Rouani menyatakan ekspor telah membaik sejak awal November.

Pasar juga mengacuhkan data pemerintah AS yang menunjukkan persediaan minyak mentah AS merosot 1,2 juta barel pekan lalu. Penurunan tersebut jauh di bawah laporan Institut Perminyakan Amerika (API) yang melaporkan stok minyak mentah AS merosot 10 juta barel. Penurunan tersebut juga hanya separuh dari prediksi sejumlah analis yang memperkirakan penurunan mencapai tiga juta barel.

Kekhawatiran terhadap membanjirnya pasokan minyak mentah global, utamanya akibat melonjaknya produksi minyak shale AS, telah menekan pasar pada beberapa pekan terakhir. Hal itu membuat OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, atau OPEC+ sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari selama enam bulan mulai 1 Januari 2019.

“Kesepakatan OPEC+ pekan lalu akan memungkinkan lebih banyak posisi harga bakal naik yang akan diambil oleh beberapa pelaku pasar”, ujar JBC Energy dalam laporannya. JBC Energy juga menilai harga minyak akan lebih stabil dalam enam bulan ke depan dibandingkan beberapa bulan terakhir.

Pekan ini, harga minyak mendapatkan sokongan setelah Libya mengumumkan kondisi kahar pada ekspor dari lapangan minyak terbesarnya Minggu lalu. Kondisi tersebut terjadi setelah kelompok militan menduduki fasilitas tersebut.

Namun, proyeksi melemahnya perekonomian dan naiknya produksi minyak di sejumlah negara telah membebani pasar. Produksi minyak mentah telah melesat di AS. Hal tu akan membuat AS menjadi produsen minyak nomor satu, di atas Rusia dan Arab Saudi, pada akhir 2018.

“Kami cukup yakin OPEC+ akan berhasil dalam mengatasi masalah di pasar minyak sehingga dapat menjaga harga minyak mentah Brent berada di area US$60+ per barel dalam enam bulan ke depan,” ujar Ahli Strategi Pasar SEB Commodities Bjarne Schieldrop.

Kendati demikian, lanjut Schieldrop, investor dan produser khawatir terhadap serangan tsunami dari tambahan produksi minyak shale AS pada akhir 2019 dan 2020 seiring pemasangan jaringan pipa baru dari Cekungan Permian hingga Teluk AS.

 

 

 

 

 

 

Sumber : Cnnindonesia.com
Gambar : Tribunnews.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *