Perang Dagang dan Keoknya Pasar Saham Tekan Harga Minyak

Harga minyak mentah dunia kembali merosot sepanjang pekan lalu. Pelemahan dipicu oleh anjloknya kinerja pasar modal serta kekhawatiran terhadap perang dagang yang berpotensi menggerus permintaan minyak mentah.

Dilansir dari Reuters, Senin (29/10), harga minyak mentah Brent pada Jumat (26/10) tercatat US$77,62 per barel atau merosot 2,7 persen secara mingguan. Selama tiga pekan terakhir, harga Brent tergerus sekitar US$10 per barel.

Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) sebesar 2,3 persen menjadi US$67,59 per barel.

Kedua harga acuan mengalami pelemahan selama tiga pekan berturut-turut.

Anjloknya pasar modal global telah menekan pasar minyak. Kemudian, pasar keuangan juga menghadapi tekaan dari perang dagang antara AS-China,keoknya mata uang negara berkembang, kenaikan suku bunga serta permasalahan ekonomi di Italia. Tak hanya itu, ada tanda-tanda perlambatan di perdagangan global yang tercermin dari menurunnya level pengiriman barang melalui kontainer dan kapal.

“Jika permintaan global mengalami kontraksi lebih besar dari yang kita perkirakan, hal itu tidak akan baik untuk permintaan minyak. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan permintaan minyak berkorelasi cukup baik,” ujar Analis Energi CFRA Reserch Stewart Glickman.

Gejolak di pasar dan proyeksi kenaikan pasokan telah menyebabkan investor menarik taruhannya pada posisi kenaikan harga (bullish). Berdasarkan data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC), manajer keuangan memangkas taruhan pada posisi bullish untuk harga minyak mentah AS terbanyak untuk lebih dari setahun.

Di sisi lain, harga mendapatkan dorongan pada Jumat lalu setelah dua sumber Reuters menyatakan Irak akan menghentikan pengiriman minyak mentah dari bagian utara lapangan minyak Kirkuk ke Iran untuk mematuhi sanksi AS.

Gedung Putih telah menyatakan ingin menekan penjualan minyak Iran hingga ke level nol meski pun hal itu tidak mungkin terjadi, Kendati demikian, banyak pembeli, termasuk konsumen Iran terbesar, China, mengikuti sanksi AS. Hal itu membuat Iran harus menyimpan minyak yang tidak terjual di tanker.

“Jika Anda bergerak ke depan dan melihat orang-orang bermain berdasarkan aturan, yang saya percaya tidak akan benar-benar terjadi, Anda akan melihat pasokan mencukupi dan kita akan menghadapi masalah ini nantinya,” ujar Direktur Riset Ekuitas MUFG Securities Michael McAllister.

Kamis (25/10) lalu, Gubernur OPEC dari Arab Saudi Adeeb Al-Aama menyatakan pasar minyak dapat menghadapi kelebihan pasokan.

“Kondisi pasar di kuartal IV dapat beralih ke arah situasi pasokan berlebih yang terlihat dari kenaikan stok minyak selama beberapa pekan terakhir,” ujar Al-Aama kepada Reuters.

Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan kemungkinan diperlukan intervensi untuk mengurangi persedian minyak.

Di AS, produksi minyak mentah melesat akibat kemajuan teknologi. Produksi tahun ini diperkirakan akan menembus rekor terbanyak sejak 1970.

Perusahaan layanan energi Baker Hugher mencatat perusahaan minyak AS menambah jumlah rig untuk tiga pekan berturut-turut, membuat jumlahnya terbanyak selama tiga tahun terakhir. Menurunnya produktivitas di beberapa lapangan minyak shale telah mendorong perusahaan untuk melakukan pengeboran lebih banyak untuk menjaga pertumbuhan produksi.

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Pasardana

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *