Inflasi AS 2,3% YoY di September, Terlemah Dalam 7 Bulan

Indeks Harga Konsumen (IHK) alias inflasi di Amerika Serikat (AS) meningkat lebih rendah dari ekspektasi di September, tertahan oleh melambatnya kenaikan biaya sewa rumah serta penurunan indeks harga sektor energi.

IHK Negeri Paman Sam meningkat 0,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) di bulan September, lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 0,2% MtM.

Secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat sebesar 2,3% di bulan lalu, melambat dari capaian Agustus sebesar 2,7%. Inflasi tahunan di September lantas menjadi yang terendah dalam 7 bulan terakhir.

Adapun mengacu pada konsensus yang dihimpun Reuters, inflasi diperkirakan mencapai 0,2% MtM dan 2,4% YoY di September, masih lebih cepat dari realisasi.

Mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi, inflasi inti tercatat meningkat 0,1% MtM di September, juga lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 0,2% MtM. Sedangkan secara tahunan, inflasi inti mencapai 2,2% YoY di bulan lalu, tidak mengalami perubahan dari bulan sebelumnya.

Indeks harga bahan bakar minyak turun 0,2% MtM pada September, pasca naik hingga 3% MtM di bulan sebelumnya. Sementara, indeks harga makanan secara keseluruhan tercatat flat, dan harga untuk makanan yang dikonsumsi di rumah turun 0,1% MtM.

Di sisi lain, indeks harga sewa perumahan meningkat 0,2% MtM di September, melambat dari 0,3% MtM di bulan Agustus.

Pascapengumuman data ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) sedikit jatuh lebih dalam dari sebelumnya. Pada pukul 19.35 WIB, Dollar Index tercatat melemah sebesar 0,52% ke 95,01. Sebelumnya (hingga pukul 19.00 WIB), indeks ini terkoreksi 0,39%.

Melihat inflasi bulan September jatuh ke level terendah sejak Februari, wajar jika muncul persepsi bahwa laju permintaan di AS ternyata belum terlalu kencang, masih ada potensi perlambatan. Artinya, ada kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam tidak secepat yang diharapkan.

Pada akhirnya akan timbul pertanyaan. Apakah The Federal Reserve/The Fed masih tetap mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat? Apakah The Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuan? Apakah AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan karena permintaan masih belum pulih sepenuhnya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menghantui dolar AS. Sebab, kekuatan utama dolar AS adalah kenaikan suku bunga acuan. Dengan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di AS akan lebih menguntungkan karena imbalannya naik.

Meski demikian, inflasi yang hanya tipis saja di bawah ekspektasi pasar nampaknya belum akan serta merta mengubah ekspektasi pasar The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada Desember. Kenaikan di akhir tahun berarti suku bunga acuan AS akan naik 4 kali tahun ini, lebih banyak dari perkiraan semula sebanyak 3 kali.

Selain itu, The Fed juga menggunakan ukuran lainnya untuk mengukur inflasi, yakni indeks Personal Consumption Expenditure (PCE) inti. Indeks ini naik 2% YoY pada Agustus 2018, atau sudah menyentuh target inflasi The Fed untuk 4 bulan berturut-turut.

Alhasil, dampak rilis data inflasi bulan September nampaknya masih minim bagi pergerakan dolar AS. Buktinya, pada pukul 20.10 WIB, pelemahan Dollar Index kembali ke level 0,35%, atau sama dengan sebelum data inflasi diumumkan.

Terlebih, menipisnya pelemahan dolar AS juga nampaknya disebabkan oleh pelaku pasar yang cenderung masih memburu dolar AS untuk membeli obligasi pemerintah AS. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun saat ini masih tercatat turun 5,8 basis poin (bps) ke 3,1668%.

 

 

 

Sumber : CNBC
Gambar : Ekonomi

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *